Rabu, 20 Agustus 2025

Hidup Abadi Lewat Quantum Immortality: Ilmu atau Ilusi?

 

Yogyakarta, 21 Agustus 2025 - Sejak dulu manusia selalu bertanya: apakah ada kehidupan setelah mati? Biasanya, pertanyaan ini dijawab oleh agama atau filsafat. Tapi ada satu gagasan dari fisika kuantum yang tak kalah mengejutkan: Quantum Immortality. Sebuah hipotesis yang mengatakan bahwa kesadaran kita… mungkin tidak pernah benar-benar mati.

Apa Itu Quantum Immortality?

Quantum Immortality berasal dari teori Many Worlds dalam mekanika kuantum. Teori ini percaya bahwa setiap pilihan atau peristiwa selalu membuat alam semesta bercabang.

Dalam satu cabang, kita mungkin gagal.

Di cabang lain, kita berhasil.

Dan dalam situasi hidup-mati, di satu cabang kita mati, tapi di cabang lain… kita tetap hidup.

Nah, menurut hipotesis ini, kesadaran kita selalu “loncat” ke cabang di mana kita selamat. Akibatnya, dari sudut pandang diri kita sendiri, kematian tidak pernah benar-benar terjadi.

Contoh Sederhana

Bayangkan seseorang bermain roulette Rusia. Secara logika, peluang hidup dan mati sama besar. Tapi menurut Quantum Immortality:

Di satu semesta, ia tewas.

Di semesta lain, pistol kosong dan ia selamat.

Dan kesadarannya akan selalu mengikuti semesta yang selamat. Bagi dirinya, ia seperti tak bisa mati.

Abadi, Tapi Sendiri

Kedengarannya keren, bukan? Hidup abadi, tak bisa mati. Tapi ada sisi gelapnya:

Orang lain di semesta tempat kita mati, benar-benar kehilangan kita.

Sementara kita tetap hidup di cabang lain, menyaksikan orang-orang yang kita cintai menua, sakit, dan akhirnya pergi.

Abadi berarti juga kesepian tanpa akhir.

Bisa Dibuktikan?

Sayangnya, tidak. Quantum Immortality sulit, bahkan mustahil diuji.

Kalau kita mati di satu semesta, kita tidak ada untuk mencatat hasilnya. Sedangkan di cabang lain, kita hanya merasa selamat. Jadi teori ini lebih cocok disebut filosofi sains daripada fakta eksperimen.

Mungkin bisa dilihat dari kesaksian beberapa orang yang pernah merasakan, harusnya dia meninggal karena kecelakaan atau sakit parah, tetapi bisa selamat atau sembuh karena suatu keajaiban, yang bisa jadi itu karena efek dari Quantum Immortality.

Quantum Immortality membuat kita berpikir ulang tentang arti hidup dan kematian. Apakah kesadaran hanya fenomena kuantum? Apakah kita benar-benar ingin hidup abadi, kalau itu berarti menanggung kesendirian di semesta tak terbatas?

Pada akhirnya, teori ini mungkin tidak bisa kita buktikan. Tapi satu hal pasti: gagasan bahwa kita mungkin tidak pernah benar-benar mati membuat hidup terasa jauh lebih misterius dari yang kita bayangkan.

✨ Pertanyaan untuk kita:

Jika benar kita bisa hidup abadi lewat Quantum Immortality, apakah itu berkah… atau justru kutukan? (Yusuf)




Jumat, 20 Juni 2025

Gowok Kamasutra Jawa: Ketika Tubuh Perempuan, Kekuasaan, dan Konspirasi Feodal Menyatu dalam Satu Cerita

 


Yogyakarta 21 Juni 2025 

Review & Resensi:

Jujur, waktu pertama kali dengar judul film Gowok Kamasutra Jawa, saya sempat skeptis. Saya kira ini akan jadi film yang cuma jualan sensualitas atau budaya erotik Jawa yang dikemas estetis. Tapi setelah nonton? Ternyata jauh lebih dalam dari itu. Saya bahkan kasih nilai 8 dari 10 untuk film ini, dan saya punya alasan kuat kenapa.

Pertama, saya terkesan dengan akting para pemainnya, terutama tokoh utama, Ratri. Aktris yang memerankannya bener-bener total, nggak cuma akting, tapi kayak benar-benar jadi sosok perempuan yang dipaksa bertahan hidup di tengah badai konspirasi dan ketidakadilan zaman. Ratri bukan hanya karakter biasa, tapi representasi dari perempuan Jawa yang berusaha bangkit di tengah sistem patriarki dan tekanan kekuasaan.

Latar film ini juga menarik banget karena mengambil setting di masa fiktif yang disebut sebagai era renaisans komunis di Indonesia. Sebuah bayangan sejarah alternatif yang nggak umum, tapi justru terasa menyegarkan dan menantang nalar. Dari situ, saya bisa merasakan bagaimana perempuan seperti Ratri mencoba melawan kemunduran dan bangkit demi mimpi-mimpinya—tapi justru tersandung oleh kenyataan pahit: bahwa di balik harapan, ada konspirasi besar yang menghisap segalanya.

Alur ceritanya dibangun dengan pelan tapi penuh teka-teki. Saya sempat nebak-nebak siapa sebenarnya dalang dari semua kekacauan yang terjadi, tapi baru sadar di ending bahwa semua itu ternyata adalah satu konspirasi besar yang disusun rapi oleh kalangan feodalis. Di sinilah menurut saya letak kekuatan film ini—Hanung Bramantyo berhasil menyusun cerita yang bikin saya terjebak dalam teka-teki, tapi tetap puas ketika semuanya terungkap di akhir.

Yang bikin saya makin suka, film ini bukan cuma soal cerita personal Ratri, tapi juga sindiran keras terhadap elitisme, sistem kekuasaan, dan feodalisme yang masih bercokol dalam budaya kita. Digambarkan dengan sangat tajam, para bangsawan dalam film ini bukan cuma jahat—mereka haus kekuasaan, manipulatif, dan tega menjadikan rakyat kecil sebagai korban permainan politik.

Kritik dari Saya:

Meski saya menikmati hampir semua bagian film ini, ada beberapa hal yang menurut saya agak mengganggu. Misalnya, beberapa dialog terasa terlalu filosofis dan berat, jadi kadang saya agak lelah mencernanya. Mungkin akan lebih kuat kalau dialognya dibikin lebih natural tapi tetap mengena.

Terus, penggunaan istilah “Kamasutra” di judulnya, meskipun punya konteks budaya, bisa menimbulkan kesalahpahaman. Saya yakin banyak orang bakal langsung mikir ini film vulgar atau erotis, padahal isi sebenarnya justru lebih politis dan filosofis. Judulnya memang catchy dan mengundang penasaran, tapi bisa jadi pedang bermata dua.

Selain itu, ada juga beberapa adegan yang menurut saya terlalu teatrikal, sampai-sampai agak mengganggu emosi yang sedang dibangun. Tapi ya, itu masih bisa dimaklumi karena secara keseluruhan ceritanya tetap kuat.

Kesimpulan dari Saya:

Buat saya, Gowok Kamasutra Jawa adalah film yang berani, penuh pesan, dan sangat relevan. Ini bukan film ringan yang bisa ditonton sambil lalu—ini film yang bikin saya mikir panjang. Tentang perempuan, tentang sejarah, tentang siapa yang sebenarnya punya kuasa atas tubuh dan mimpi orang kecil.

Hanung Bramantyo kembali membuktikan bahwa dia bukan cuma jago bikin film, tapi juga jago menyisipkan kritik sosial lewat sinema. Film ini bukan cuma layak ditonton, tapi juga layak direnungkan.


YUSUF NURRIFAI