Yogyakarta 21 Juni 2025
Review & Resensi:
Jujur, waktu pertama kali dengar judul film Gowok Kamasutra Jawa, saya sempat skeptis. Saya kira ini akan jadi film yang cuma jualan sensualitas atau budaya erotik Jawa yang dikemas estetis. Tapi setelah nonton? Ternyata jauh lebih dalam dari itu. Saya bahkan kasih nilai 8 dari 10 untuk film ini, dan saya punya alasan kuat kenapa.
Pertama, saya terkesan dengan akting para pemainnya, terutama tokoh utama, Ratri. Aktris yang memerankannya bener-bener total, nggak cuma akting, tapi kayak benar-benar jadi sosok perempuan yang dipaksa bertahan hidup di tengah badai konspirasi dan ketidakadilan zaman. Ratri bukan hanya karakter biasa, tapi representasi dari perempuan Jawa yang berusaha bangkit di tengah sistem patriarki dan tekanan kekuasaan.
Latar film ini juga menarik banget karena mengambil setting di masa fiktif yang disebut sebagai era renaisans komunis di Indonesia. Sebuah bayangan sejarah alternatif yang nggak umum, tapi justru terasa menyegarkan dan menantang nalar. Dari situ, saya bisa merasakan bagaimana perempuan seperti Ratri mencoba melawan kemunduran dan bangkit demi mimpi-mimpinya—tapi justru tersandung oleh kenyataan pahit: bahwa di balik harapan, ada konspirasi besar yang menghisap segalanya.
Alur ceritanya dibangun dengan pelan tapi penuh teka-teki. Saya sempat nebak-nebak siapa sebenarnya dalang dari semua kekacauan yang terjadi, tapi baru sadar di ending bahwa semua itu ternyata adalah satu konspirasi besar yang disusun rapi oleh kalangan feodalis. Di sinilah menurut saya letak kekuatan film ini—Hanung Bramantyo berhasil menyusun cerita yang bikin saya terjebak dalam teka-teki, tapi tetap puas ketika semuanya terungkap di akhir.
Yang bikin saya makin suka, film ini bukan cuma soal cerita personal Ratri, tapi juga sindiran keras terhadap elitisme, sistem kekuasaan, dan feodalisme yang masih bercokol dalam budaya kita. Digambarkan dengan sangat tajam, para bangsawan dalam film ini bukan cuma jahat—mereka haus kekuasaan, manipulatif, dan tega menjadikan rakyat kecil sebagai korban permainan politik.
Kritik dari Saya:
Meski saya menikmati hampir semua bagian film ini, ada beberapa hal yang menurut saya agak mengganggu. Misalnya, beberapa dialog terasa terlalu filosofis dan berat, jadi kadang saya agak lelah mencernanya. Mungkin akan lebih kuat kalau dialognya dibikin lebih natural tapi tetap mengena.
Terus, penggunaan istilah “Kamasutra” di judulnya, meskipun punya konteks budaya, bisa menimbulkan kesalahpahaman. Saya yakin banyak orang bakal langsung mikir ini film vulgar atau erotis, padahal isi sebenarnya justru lebih politis dan filosofis. Judulnya memang catchy dan mengundang penasaran, tapi bisa jadi pedang bermata dua.
Selain itu, ada juga beberapa adegan yang menurut saya terlalu teatrikal, sampai-sampai agak mengganggu emosi yang sedang dibangun. Tapi ya, itu masih bisa dimaklumi karena secara keseluruhan ceritanya tetap kuat.
Kesimpulan dari Saya:
Buat saya, Gowok Kamasutra Jawa adalah film yang berani, penuh pesan, dan sangat relevan. Ini bukan film ringan yang bisa ditonton sambil lalu—ini film yang bikin saya mikir panjang. Tentang perempuan, tentang sejarah, tentang siapa yang sebenarnya punya kuasa atas tubuh dan mimpi orang kecil.
Hanung Bramantyo kembali membuktikan bahwa dia bukan cuma jago bikin film, tapi juga jago menyisipkan kritik sosial lewat sinema. Film ini bukan cuma layak ditonton, tapi juga layak direnungkan.
YUSUF NURRIFAI

Tidak ada komentar:
Posting Komentar